TIKUS TIKUS

Aku heran.
Banyak tikus di jalan raya,
berlari bebas menyabung nyawa,
seolah unjuk rasa, tak gentar bahaya.

Aku heran.
Ada tikus di kantor gubernur,
beranak-pianak memperbanyak nyawa.

Aku heran.
Ada tikus di rumah Tuhan,
mencicit berisik bila malam.

Aku heran.
Ada tikus di dalam kampus,
melenggang di taman dan halaman,
juga di ruang baca, dari pagi hingga malam.

Aku teramat heran,
sekelompok tikus di gedung kesenian,
tak ragu membangun sarang.

1 Desember 2011

PELUKLAH AKU IBU

Peluklah aku ibu,
sebab subuh telah tiba mengiringkan dingin.
Peluklah aku ibu,
aku terkepung dingin.

Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
setiap matahari belum terbit,
pun embun rebah di daun-daun.

Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
ketika umur masih kecil, dan tubuh pun masih mungil.

7 Nopember 2011

SENJA DI BALIK GUNUNG

Senja menunggu di balik gunung,
ditandai warna semburat jingga,
menggantung di awan, bergilir berurut turun,
sekejap kemudian ia tenggelam di balik perdu-perdu rimbun.

Datanglah kini malam,
masa untuk tukang-tukang tenung.

Alam tahu.
Jalan setapak akan senyap,
binatang-binatang bersayap, gemerisik daun tebu pun tercekat,
tak kuasa mengumbar gerak.

Senja masih senja kemarin,
senja pengundang malam pembawa tenung,
senja penarik kantuk penarik selimut.

Senja misterius masih seperti kemarin,
membuatku takut mengobrak-abrik hening.

Aku takut senja sejak kecil,
takut tak merasa mentari esok hari,
takut tak punya sesuatu dibawa mati,
takut pula tak punya rasa takut untuk kubawa nanti,
takut bila tempatku bukan surga abadi.

Aku takut senja bahkan hingga sekarang,
sebah takut tak dituruti bila berkata dan memerintah,
takut tak punya apa-apa untuk kutinggalkan,
takut tak punya sejumput warisan untuk anak,
teramat takut pula tempatku hilang dari sejarah.

03 Nopember 2011