PERAHU MERAH PUTIH BERBENDERA BIRU

Perahu merah putih,
tegak tiang layarmu memacu laju,
songsong angin darat menju asa baru,
lajulah laju membelah ombak memecah buih,
songsong angin laut dengan wajah berkapur putih,
laju lebih laju perahu merah putih.

Anak anak perahu gantung menggantung,
tiang-tiang layar tusuk menusuk,
tali temali ikat mengikat,
tak lagi mampu bergerak,
tak mau lagi maju,
jangan sampai berlaku,
jangan sampai kawanku.

Perahu merah putih terus melaju,
usah kecut pada pelacur-pelacur berbibir biru,
sebab birunya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengacara berhati batu,
tulang pipi dan lidahnya yang setajam sembilu,
sebab hatinya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengkotbah yang menjanjikan surga biru,
sebab janjinya adalah janji keliru.

Kepalang tanggung tinggalkan dermaga,
kepalang tanggung simpan jangkar di geladak,
kepalang basah buritan mencium air laut,
kepalang sudah kemudi diarahkan nahkoda,
maju terus maju,
jangan malu,
jangan ragu,
Laju!

Perahu merah putih berbendera biru,
laju-laju menuju tempat berlabuh!

17 Februari 2011

CANGKIR KOPI

Elisabeth,
aku ingin bercerita padamu,
tentang cangkir kopi di jarimu itu,
menyimpan sejarah hidupku.

Berabad lalu,
moyangku dari benua utara,
menyeberang samudera raya,
mendayung dengan bilah-bilah kayu,
tangan mereka berdarah-darah.

Dari selat Malaka merambah rimba raya,
mengikuti air bermuara.
Sampai suatu sore bermata jingga,
mereka tiba di bukit ini,
tempat kita berdiri ini,
dekat tungku kita membuat kopi tadi.
Di situ juga mereka membuat kopi,
melewati hari pertama,
memilih menetap di sini,
sampai padaku.

Cangkir yang kau pegang itu,
milik istri moyangku,
dipakai minum kopi di sore jingga,
cangkir motif mata dewa menatap alam raya,
semoga kau suka.

9 Maret 2007

TEH POCI TERAKHIR

( Dalam kenangan Ags. Arya Dipayana-Mas Aji )
29 April 1961 - 1 Maret 2011

Meja kecil dan kursi kecil,
teko kecil berikut cangkir kecil,
gula batu dipecah kecil-kecil,
daun teh segenggaman kecil.
Semua itu kenangan kecil tentangmu,
namun kuingat lama dan selalu.

Kau pergi tiba-tiba Mas,
tinggalkan kekasih tercinta Mas.
Pun tinggalkan dunia tanpa kata,
kagetkan aku Mas.

Mas, biar kami teruskan meretas jalan,
menemukan tujuan.
Mas, biar kami duduk meriung,
merenung pergimu,
berikut jejak tertinggalmu.

Mas, ini teh poci terakhir, untukmu.

4 Maret 2011

ANAK KAMPUNG BALIK GUNUNG

Akulah itu kawan,
anak lelaki kampung,
kampung sepi di balik gunung.

Akulah itu kawan.
Selalu rindu bau kemenyan,
rindu tebu di tepi hutan,
rindu dangau, rindu pepohonan bersemut merah dan hitam,
rindu kecipak air, rindu pula hujan,
rindu kelepak kepodang terbang,
dan angin bertiup menutup petang.

Akulah itu kawan.
Rindu pada perawan,
perawan kampung balik gunung,
rambutnya tebal, lehernya jenjang,
tangannya kekar, betisnya gempal,
pinggulnya padat dadanya besar,
memanggilku pulang sekarang.

Akulah ingin kawan,
pulang pada alam,
menjenguk gadis perawan.
Akulah itu kawan,
anak kampung balik gunung,
rindu alam, rindu gadis perawan

2 Maret 2011

MACAN PINCANG

Ada macan pincang di ujung hutan selatan
Badannya besar matanya kemerahan

Ia mantan raja hutan
Di masa muda mengundang segan
Berpapasan dengannya semua binatang enggan
Tak ada takutnya
Tak ada tandingnya
Hanya satu sedihnya
Anaknya hilang
Ketika pemburu berombongan datang

Istrinya diterjang peluru tajam
Anaknya dimasukkan kandang
Kakinya pun jadi pincang

Macan pincang – macan pincang
Ia jadi buas akibat kehilangan
Disapunya kampung-kampung tepi hutan
Hingga tanah ladang tak lagi bertuan

Macan pincang – macan pincang
Puluhan tahun jadi binatang jalang
Kini tak ada lagi mampu ia lawan
Tua dan tak pula punya kawan
Hanya satu tinggal harapan
Anaknya datang anaknya pulang

Macan pincang – macan pincang
Petang itu langit jingga bumi kering
Ia mencium bau kencing
Dari lantai kandang tergeletak di bebatuan
Ia tahu,
itu kencing anaknya yang hilang
Anaknya pulang

Macan pincang – macan pincang
Ia telusuri baunya sambil jalan
Ia ketemu di tepi hutan

Macan pincang – macan pincang
Ia lihat anaknya di situ
Persis mudanya dulu
Gagah dan besar
Aumannya pun seperti aumannya dulu

Macan pincang pun bilang
Macan baru, kamu anakku
Aku cium bau kencingmu
Kamu anakku
Kutunggu, kurindu sedari dulu
Kamu anakku

Macan baru mau
Ia sungguh tak tahu itu ayah atau hanya tipu
Sedikitnya ia sekarang punya teman
Tak lagi sendirian masuk hutan lebih dalam

Macan pincang – macan pincang
Ia tunjukkan tempat mencari makan
Berburu rusa dan mengejar kambing liar jantan
Juga menyantap babi hutan

Macan baru anaknya itu diam
Tak bisa lari tak sanggup menerkam

Macan pincang – macan pincang
Tak tega makan sendirian
Dia bagi paha kelinci hutan
Lelah payah ia buru sedari siang

Macan pincang – macan pincang
Sudah tua dan tak ada kawan
Mesti pula berbagi makan

Macan pincang – macan pincang
Apa kelak terjadi sekian bulan kemudian

6 Desember 2010