Aku heran.
Banyak tikus di jalan raya,
berlari bebas menyabung nyawa,
seolah unjuk rasa, tak gentar bahaya.
Aku heran.
Ada tikus di kantor gubernur,
beranak-pianak memperbanyak nyawa.
Aku heran.
Ada tikus di rumah Tuhan,
mencicit berisik bila malam.
Aku heran.
Ada tikus di dalam kampus,
melenggang di taman dan halaman,
juga di ruang baca, dari pagi hingga malam.
Aku teramat heran,
sekelompok tikus di gedung kesenian,
tak ragu membangun sarang.
1 Desember 2011
PELUKLAH AKU IBU
Peluklah aku ibu,
sebab subuh telah tiba mengiringkan dingin.
Peluklah aku ibu,
aku terkepung dingin.
Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
setiap matahari belum terbit,
pun embun rebah di daun-daun.
Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
ketika umur masih kecil, dan tubuh pun masih mungil.
7 Nopember 2011
sebab subuh telah tiba mengiringkan dingin.
Peluklah aku ibu,
aku terkepung dingin.
Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
setiap matahari belum terbit,
pun embun rebah di daun-daun.
Peluklah aku ibu,
seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu,
ketika umur masih kecil, dan tubuh pun masih mungil.
7 Nopember 2011
SENJA DI BALIK GUNUNG
Senja menunggu di balik gunung,
ditandai warna semburat jingga,
menggantung di awan, bergilir berurut turun,
sekejap kemudian ia tenggelam di balik perdu-perdu rimbun.
Datanglah kini malam,
masa untuk tukang-tukang tenung.
Alam tahu.
Jalan setapak akan senyap,
binatang-binatang bersayap, gemerisik daun tebu pun tercekat,
tak kuasa mengumbar gerak.
Senja masih senja kemarin,
senja pengundang malam pembawa tenung,
senja penarik kantuk penarik selimut.
Senja misterius masih seperti kemarin,
membuatku takut mengobrak-abrik hening.
Aku takut senja sejak kecil,
takut tak merasa mentari esok hari,
takut tak punya sesuatu dibawa mati,
takut pula tak punya rasa takut untuk kubawa nanti,
takut bila tempatku bukan surga abadi.
Aku takut senja bahkan hingga sekarang,
sebah takut tak dituruti bila berkata dan memerintah,
takut tak punya apa-apa untuk kutinggalkan,
takut tak punya sejumput warisan untuk anak,
teramat takut pula tempatku hilang dari sejarah.
03 Nopember 2011
ditandai warna semburat jingga,
menggantung di awan, bergilir berurut turun,
sekejap kemudian ia tenggelam di balik perdu-perdu rimbun.
Datanglah kini malam,
masa untuk tukang-tukang tenung.
Alam tahu.
Jalan setapak akan senyap,
binatang-binatang bersayap, gemerisik daun tebu pun tercekat,
tak kuasa mengumbar gerak.
Senja masih senja kemarin,
senja pengundang malam pembawa tenung,
senja penarik kantuk penarik selimut.
Senja misterius masih seperti kemarin,
membuatku takut mengobrak-abrik hening.
Aku takut senja sejak kecil,
takut tak merasa mentari esok hari,
takut tak punya sesuatu dibawa mati,
takut pula tak punya rasa takut untuk kubawa nanti,
takut bila tempatku bukan surga abadi.
Aku takut senja bahkan hingga sekarang,
sebah takut tak dituruti bila berkata dan memerintah,
takut tak punya apa-apa untuk kutinggalkan,
takut tak punya sejumput warisan untuk anak,
teramat takut pula tempatku hilang dari sejarah.
03 Nopember 2011
AKU BUKAN PUISI
Aku bukan puisi,
yang hidup dari sejumlah kata dan rima,
seuntai makna juga pesan rahasia.
Aku bukan puisi,
yang tumbuh dari imajinasi dan coretan pena,
lalu mati di taplak meja.
Aku adalah manusia,
bisa berkata-kata dan punya jiwa,
berjalan benar, merangkak pun bisa,
mataku berbinar, dendamku tak bersisa.
Aku adalah manusia,
tak tahan rangkaian puisi sampah,
indah dalam kata-kata,
sayang disayang buruk lakunya.
Aku adalah manusia,
tak mau mati dengan puisi,
ditiup indah di telinga,
namun bau dalam dunia.
Aku adalah manusia,
Tak sudi berbaju puisi berjala-jala,
namun tak puitis tindak tanduknya.
Aku adalah manusia,
bukan puisi indah tanpa makna,
seperti mahluk beragama,
namun tak segaris lurus dengan kata dan karya.
Aku adalah manusia,
manusia dengan makna,
bermakna juga beragama.
26 September 2011
yang hidup dari sejumlah kata dan rima,
seuntai makna juga pesan rahasia.
Aku bukan puisi,
yang tumbuh dari imajinasi dan coretan pena,
lalu mati di taplak meja.
Aku adalah manusia,
bisa berkata-kata dan punya jiwa,
berjalan benar, merangkak pun bisa,
mataku berbinar, dendamku tak bersisa.
Aku adalah manusia,
tak tahan rangkaian puisi sampah,
indah dalam kata-kata,
sayang disayang buruk lakunya.
Aku adalah manusia,
tak mau mati dengan puisi,
ditiup indah di telinga,
namun bau dalam dunia.
Aku adalah manusia,
Tak sudi berbaju puisi berjala-jala,
namun tak puitis tindak tanduknya.
Aku adalah manusia,
bukan puisi indah tanpa makna,
seperti mahluk beragama,
namun tak segaris lurus dengan kata dan karya.
Aku adalah manusia,
manusia dengan makna,
bermakna juga beragama.
26 September 2011
MASIH PERCAYA KAU PADA PENGUSAHA SEPATU
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Ia marah bila kau makan lebih banyak.
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Ia menangis dan ganas kalau Dolar panas.
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Pergilah sebelum dia marah,
pulanglah sebelum dia datang!
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Seketika dia pergi begitu upah buruh naik.
Masih?
Senin, 4 Mei 2009
Ia marah bila kau makan lebih banyak.
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Ia menangis dan ganas kalau Dolar panas.
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Pergilah sebelum dia marah,
pulanglah sebelum dia datang!
Masih percaya kau pada pengusaha sepatu?
Seketika dia pergi begitu upah buruh naik.
Masih?
Senin, 4 Mei 2009
SERATUS HASTA DARI ISTANA
Tersebut satu kisah,
membelalakkan mata,
mengguncang keteguhan jiwa.
Seratus hasta dari istana,
di situ bermula,
di rindang pohon asam jawa.
Ia perempuan sebatang kara.
Ada codet di wajahnya, ada teguh di hatinya.
Dan marah di matanya.
Ia perempuan, ia sendirian.
Bila malam berbintang, ia berjalan gemetaran,
ke lapangan emas menjajakan cincin emas.
Bila malam tak berbulan, ia gemetaran,
menahan dingin dari embun juga hujan berjatuhan.
Ia perempuan, ia sendirian.
Sepuluh tahun tetap bertahan,
Ia perempuan, ia sendirian.
Ia pelacur yang muncul malam.
2 Maret 2011
membelalakkan mata,
mengguncang keteguhan jiwa.
Seratus hasta dari istana,
di situ bermula,
di rindang pohon asam jawa.
Ia perempuan sebatang kara.
Ada codet di wajahnya, ada teguh di hatinya.
Dan marah di matanya.
Ia perempuan, ia sendirian.
Bila malam berbintang, ia berjalan gemetaran,
ke lapangan emas menjajakan cincin emas.
Bila malam tak berbulan, ia gemetaran,
menahan dingin dari embun juga hujan berjatuhan.
Ia perempuan, ia sendirian.
Sepuluh tahun tetap bertahan,
Ia perempuan, ia sendirian.
Ia pelacur yang muncul malam.
2 Maret 2011
KEPADA SENIMAN TUA
Bukan aku meninggalkan,
bukan pula mendendam.
Aku hendak bertualang,
berkaki telanjang menuntaskan keinginan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
hidup serampangan, bingung cari makan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
hidup serampangan, anak-bini kelak kelaparan.
Aku tak bahagia pada kenyataan,
ayahku bukan sutradara,
memberiku banyak peran utama,
menunjukku menulis naskah,
dan mencekokiku penghasilan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
ibuku bukan bintang sinema,
menenteng dan menuntun tanganku sepanjang jalan,
menyuapkan banyak kesempatan.
Kepada seniman tua,
bukan aku meninggalkan, bukan.
Aku hanya mencari jalan,
merintis jalurku sendiri,
agar tak melarat di depan hari,
menghancurkan diri sendiri.
Sebab sempit kesempatanku di jalan kalian,
jalan sepotong itu penuh anak-anak kalian,
cucu, dan keponakan kalian,
ipar dan kerabat kalian.
Kepada seniman tua,
bukan aku meninggalkan,
pewarisan dinasti aku tak tahan.
Kepada seniman tua,
bukan aku melupakan,
engkaulah yang meninggalkan.
24 April 2011
bukan pula mendendam.
Aku hendak bertualang,
berkaki telanjang menuntaskan keinginan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
hidup serampangan, bingung cari makan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
hidup serampangan, anak-bini kelak kelaparan.
Aku tak bahagia pada kenyataan,
ayahku bukan sutradara,
memberiku banyak peran utama,
menunjukku menulis naskah,
dan mencekokiku penghasilan.
Aku tak bahagia pada keadaan,
ibuku bukan bintang sinema,
menenteng dan menuntun tanganku sepanjang jalan,
menyuapkan banyak kesempatan.
Kepada seniman tua,
bukan aku meninggalkan, bukan.
Aku hanya mencari jalan,
merintis jalurku sendiri,
agar tak melarat di depan hari,
menghancurkan diri sendiri.
Sebab sempit kesempatanku di jalan kalian,
jalan sepotong itu penuh anak-anak kalian,
cucu, dan keponakan kalian,
ipar dan kerabat kalian.
Kepada seniman tua,
bukan aku meninggalkan,
pewarisan dinasti aku tak tahan.
Kepada seniman tua,
bukan aku melupakan,
engkaulah yang meninggalkan.
24 April 2011
WANG LUNG
(Si Anak Petani)
Akulah Wang Lung si anak petani,
lahir di tanah berbatu-batu,
besar dengan todongan senjata serdadu.
Akulah Wang Lung si anak petani,
bagiku tanah itu amanah,
kujaga selalu, ladang dan sawah.
Akulah Wang Lung si anak petani,
lahir lalu ditinggal mati,
tinggal ayah temanku berbagi,
berbagi lapar saat tanah-tanah kering,
berbagi teh yang hanya setahun sekali,
bila lebih dari sekali, ayah akan berdiri dan memaki,
cukuplah air putih, minum teh seperti minum perak,
cukuplah setahun sekali.
Akulah Wang Lung si anak petani,
menikah, punya anak, lalu ditinggal mati,
mati terhianati,
O-lan mati kuhianati.
Akulah Wang Lung si anak petani,
kaya dari tanah, tanah yang tak terhampar mati.
Banyak lahir tunas-tunas baru, dan panen melimpah selalu,
panen berpadu membeli tanah baru,
tanah gembur dan lebih subur.
Akulah Wang Lung si anak petani,
O-lan istriku yang pertama, yang setia hingga ia mati.
Bukan mati perih melahirkan anak sendirian, seperti kucing, seperti anjing.
Ia mati, mati akibat kecewa, istriku jadi dua.
Lotus, Lotus istriku yang kedua.
Akulah Wang Lung si anak petani,
Lotus istriku, kepadanya aku selalu birahi,
kugauli tiap hari.
Akulah Wang Lung si anak petani,
di usia tujuh puluh muncul lagi birahi,
pada Pear Blossom aku kembali birahi,
aku menikmati.
Akulah Wang Lung si anak petani,
yang mati bukan karena tiga istri,
mati karena kecewa,
kecewa pada kedua putra,
tega hati menjual tanah,
selangkah demi selangkah.
Akulah Wang Lung si anak petani,
mati di tanah, mengepal segenggam tanah.
Akulah Wang Lung si anak petani, ini pesan terakhirku,
sebuah keluarga akan habis riwayatnya,
kalau mereka sudah mulai menjual tanah-tanahnya.
8 Mei 2011
Note:
Terinspirasi novel:
THE GOOD EARTH (Pearls Buck)
Akulah Wang Lung si anak petani,
lahir di tanah berbatu-batu,
besar dengan todongan senjata serdadu.
Akulah Wang Lung si anak petani,
bagiku tanah itu amanah,
kujaga selalu, ladang dan sawah.
Akulah Wang Lung si anak petani,
lahir lalu ditinggal mati,
tinggal ayah temanku berbagi,
berbagi lapar saat tanah-tanah kering,
berbagi teh yang hanya setahun sekali,
bila lebih dari sekali, ayah akan berdiri dan memaki,
cukuplah air putih, minum teh seperti minum perak,
cukuplah setahun sekali.
Akulah Wang Lung si anak petani,
menikah, punya anak, lalu ditinggal mati,
mati terhianati,
O-lan mati kuhianati.
Akulah Wang Lung si anak petani,
kaya dari tanah, tanah yang tak terhampar mati.
Banyak lahir tunas-tunas baru, dan panen melimpah selalu,
panen berpadu membeli tanah baru,
tanah gembur dan lebih subur.
Akulah Wang Lung si anak petani,
O-lan istriku yang pertama, yang setia hingga ia mati.
Bukan mati perih melahirkan anak sendirian, seperti kucing, seperti anjing.
Ia mati, mati akibat kecewa, istriku jadi dua.
Lotus, Lotus istriku yang kedua.
Akulah Wang Lung si anak petani,
Lotus istriku, kepadanya aku selalu birahi,
kugauli tiap hari.
Akulah Wang Lung si anak petani,
di usia tujuh puluh muncul lagi birahi,
pada Pear Blossom aku kembali birahi,
aku menikmati.
Akulah Wang Lung si anak petani,
yang mati bukan karena tiga istri,
mati karena kecewa,
kecewa pada kedua putra,
tega hati menjual tanah,
selangkah demi selangkah.
Akulah Wang Lung si anak petani,
mati di tanah, mengepal segenggam tanah.
Akulah Wang Lung si anak petani, ini pesan terakhirku,
sebuah keluarga akan habis riwayatnya,
kalau mereka sudah mulai menjual tanah-tanahnya.
8 Mei 2011
Note:
Terinspirasi novel:
THE GOOD EARTH (Pearls Buck)
KAMI BATAK ANAK BERANAK
(Sebuah Puisi Tumbuh)
Kamilah itu Batak anak - beranak,
empunya gunung Pusuk Buhit,
Danau Toba dan Pulau Samosir.
Kami itu Batak anak - beranak,
lahir di pokok beringin,
besar di padang rumput dan ilalang,
menyusu pada angin malam,
berayun berkejaran di pohon-pohon hutan perawan.
Kami itu Batak anak - beranak,
kenyang asap kemenyan dan gumpal kapur Barus,
otot-otot kami pejal menarik lilitan rotan berratus.
Dan nafas kami beruap daun-daun nilam panas.
Kami itu Batak anak - beranak,
Nyali kami besar melompat dari dahan,
menyebur ke sungai-sungai berarus deras,
kaki kami kuat menjangkau gunung-gunung berisi emas,
kulit kami legam, kuat menahan panas.
Kami itu Batak anak - beranak,
tak gentar menjejak pulau Jawa,
berkerabat menuju Papua.
Kami itu Batak anak - beranak,
tak ragu di Eropa, tak layu di Amerika.
Belanda, Jerman, Inggris, di situ kami ada,
Kanada, Amerika Serikat, Brazil pun kami berada.
Kami itu Batak anak - beranak,
malu jadi pengacara penjilat pantat,
malu jadi ngengat uang rakyat,
malu jadi sekumpulan jaksa bangsat.
Kami itu Batak anak - beranak,
Batak-Batak beradat.
Kami itu Batak anak - beranak,
Batak yang tak lekang oleh jaman,
tak gugur oleh karat.
Kami itu Batak anak - beranak,
hidup di tanah sendiri,
makan dengan tangan sendiri,
takkan mengemis menghina diri.
Kami itu Batak anak - beranak.
larut pada tradisi dan modernitas,
maju dan berkarya gigih,
kampung kita tetap disitu dan ompung kita tetap disembah sirih.
(Annette Horschmann-Jerman-Samosir)
Kami itu Batak anak-beranak,
menjadi Indonesia tak berhenti sebagai Batak.
(Chris Poerba-Jakarta)
Kami itu Batak anak-beranak,
bangga jadi orang Batak,
bangga berbahasa Batak,
selamanya kami orang merdeka dan pantang menyerah kalah.
(Franky Tobing-Rusia-Pakkat)
Kami Batak anak- beranak,
memacu keringat mengejar hasrat,
memapah desah dan menggenggam langit,
tak jua kami hilang pertanda.
Kami Batak anak - beranak,
setia adat dan mangembas tortor,
di keheningan kami bergumam,
kami Batak Anak-Beranak.
(Hotpangidoan Panjaitan - Narumonda)
Kami Batak anak-beranak,
Tak canggung mencumbui hutan gunung penjurui nusantara,
bercengkerama dengan segenap anak alam negeri,
bersahabat, berbudaya dan berprinsip seperti leluhurnya dimanapun, ya… itulah bangsa Batak.
(Tommy M J Sihotang - Jakarta - Pakkat)
Kami Batak anak - beranak,
tak gentar mengarungi samudera,
menjelajah hutan belantara nusantara.
Kami Batak anak-beranak,
Negeri mana yang tak kami diami,
... Afrika sekalipun sudah kami datangi.
Kami Batak anak-beranak,
bangga jadi suku batak,
menjaga tradisi dan warisan leluhur.
(Yanthy Gultom - Jakarta - Muara)
Kami itu Batak anak-beranak,
suara keras tapi hati lembut,
hati romantis meski wajah keras,
keras menentang kaum penjilat,
keras mengutuk rasisme-terorisme
(Momento Sihombing-Lintongnihuta-Jakarta)
Kami doli - doli Batak,
berjiwa modern tapi TETAP menghargai adat istiadat.
Lingkungan, bahasa, dan Danau Toba kami jaga dengan jiwa,
pun Bona Ni Pinasa.
(Rudy Leonardo Hutabarat)
Kami itu Batak anak-beranak,
pecinta kedamaian pemuja kebenaran.
Hitam putih prinsip kami tidak ada abu-abu,
sekali kami melangkah titik balikpun menjauh,
jadi pemandu ulung bukan pemimpin semu.
(Juni Erl Simanungkalit)
Kami itu Batak anak - beranak,
menjejak Borneo mencetak prestasi,
mendulang Emas Hitam majukan Pertiwi,
tak permainkan kejujuran untuk mengejar kemakmuran.
(Ny. Silaban Br. Manurung)
Kami halak Batak,
Sering dijuluki batak sesat,
karena tak paham bahasa Batak,
karena tak terlalu mengerti budaya batak,
tapi bila kami ditanya, akan selalu kami jawab,
kami ini orang Batak,
dan selalu bangga menjadi Batak.
(Bundanya Radithya)
Kami itu Batak anak - beranak,
bertutur jujur,
berjiwa luhur,
berbakti tak terukur.
(Tiur Gultom)
Kami Batak anak - beranak,
penjujung teguh dalihan na tolu,
berjunjungan Ompu Mula Jadi Nabolon,
berkarakter kuat, berpedoman teguh,
tiada menyerah, walau bahaya mengancam nyawa.
Satu pesanku kawan,
jangan lupakan kata Horas dan Tano Batak
(Parulian sihombing - Bahal batu - Siborong borong)
Kami Batak anak beranak,
yang selalu gigih berkarya dan penuh tanggung jawab.
Bila terlanjur jadi penjilat,
Ia sampah, sampahnya Batak.
Kami batak anak beranak,
sampai kapanpun ada marga dibelakang nama kami.
(Sindak Sihombing)
Kami batak anak beranak,
muak pantang sobilak.
(Bang Bas)
Kami itu Batak anak-beranak,
yang berhati mulia, berjiwa satria,
yang siap memimpin namun tetap tunduk pada Sang Pemimpin,
karna kami itu Batak anak-beranak,
terlahir jadi anak Raja,
matipun tetap anak Raja.
(S.P. Sihombing, Bandung-Lintong ni Huta)
Kami Batak anak - beranak,
yang cinta NKRI tapi tetap bangga dengan jatidiri,
yang tak takut dianggap picik karena membela kaumku sendiri,
yang tak membodohi kaumku sendiri hanya untuk menggapai ambisi pribadi.
Kami Batak anak-beranak,
yang tidak saja bangga dengan marga yang kami sandang,
tetapi menjaga kehormatan budaya nenek moyang,
yang hampir punah ditelan jaman.
(Hotasi Simamora-Jakarta-Dolok Sanggul)
Kami Batak anak beranak,
dari Pusuk Buhit leluhur menapak,
menjelajah benua menebar hasrat,
kampung halaman tetap diingat.
Kami Batak anak beranak,
setia adat titian pengikat,
gondang dan ulos identitas melekat,
rentak irama bergerak serempak.
(Monang Naipospos - Laguboti)
........................................................
........................................................
........................................................
Note:
Silahkan meneruskan bait-bait puisi ini!
Kita berkolaborasi membuat puisi tumbuh, tapi saya punya hak untuk mengedit ya. Terima kasih.
Kamilah itu Batak anak - beranak,
empunya gunung Pusuk Buhit,
Danau Toba dan Pulau Samosir.
Kami itu Batak anak - beranak,
lahir di pokok beringin,
besar di padang rumput dan ilalang,
menyusu pada angin malam,
berayun berkejaran di pohon-pohon hutan perawan.
Kami itu Batak anak - beranak,
kenyang asap kemenyan dan gumpal kapur Barus,
otot-otot kami pejal menarik lilitan rotan berratus.
Dan nafas kami beruap daun-daun nilam panas.
Kami itu Batak anak - beranak,
Nyali kami besar melompat dari dahan,
menyebur ke sungai-sungai berarus deras,
kaki kami kuat menjangkau gunung-gunung berisi emas,
kulit kami legam, kuat menahan panas.
Kami itu Batak anak - beranak,
tak gentar menjejak pulau Jawa,
berkerabat menuju Papua.
Kami itu Batak anak - beranak,
tak ragu di Eropa, tak layu di Amerika.
Belanda, Jerman, Inggris, di situ kami ada,
Kanada, Amerika Serikat, Brazil pun kami berada.
Kami itu Batak anak - beranak,
malu jadi pengacara penjilat pantat,
malu jadi ngengat uang rakyat,
malu jadi sekumpulan jaksa bangsat.
Kami itu Batak anak - beranak,
Batak-Batak beradat.
Kami itu Batak anak - beranak,
Batak yang tak lekang oleh jaman,
tak gugur oleh karat.
Kami itu Batak anak - beranak,
hidup di tanah sendiri,
makan dengan tangan sendiri,
takkan mengemis menghina diri.
Kami itu Batak anak - beranak.
larut pada tradisi dan modernitas,
maju dan berkarya gigih,
kampung kita tetap disitu dan ompung kita tetap disembah sirih.
(Annette Horschmann-Jerman-Samosir)
Kami itu Batak anak-beranak,
menjadi Indonesia tak berhenti sebagai Batak.
(Chris Poerba-Jakarta)
Kami itu Batak anak-beranak,
bangga jadi orang Batak,
bangga berbahasa Batak,
selamanya kami orang merdeka dan pantang menyerah kalah.
(Franky Tobing-Rusia-Pakkat)
Kami Batak anak- beranak,
memacu keringat mengejar hasrat,
memapah desah dan menggenggam langit,
tak jua kami hilang pertanda.
Kami Batak anak - beranak,
setia adat dan mangembas tortor,
di keheningan kami bergumam,
kami Batak Anak-Beranak.
(Hotpangidoan Panjaitan - Narumonda)
Kami Batak anak-beranak,
Tak canggung mencumbui hutan gunung penjurui nusantara,
bercengkerama dengan segenap anak alam negeri,
bersahabat, berbudaya dan berprinsip seperti leluhurnya dimanapun, ya… itulah bangsa Batak.
(Tommy M J Sihotang - Jakarta - Pakkat)
Kami Batak anak - beranak,
tak gentar mengarungi samudera,
menjelajah hutan belantara nusantara.
Kami Batak anak-beranak,
Negeri mana yang tak kami diami,
... Afrika sekalipun sudah kami datangi.
Kami Batak anak-beranak,
bangga jadi suku batak,
menjaga tradisi dan warisan leluhur.
(Yanthy Gultom - Jakarta - Muara)
Kami itu Batak anak-beranak,
suara keras tapi hati lembut,
hati romantis meski wajah keras,
keras menentang kaum penjilat,
keras mengutuk rasisme-terorisme
(Momento Sihombing-Lintongnihuta-Jakarta)
Kami doli - doli Batak,
berjiwa modern tapi TETAP menghargai adat istiadat.
Lingkungan, bahasa, dan Danau Toba kami jaga dengan jiwa,
pun Bona Ni Pinasa.
(Rudy Leonardo Hutabarat)
Kami itu Batak anak-beranak,
pecinta kedamaian pemuja kebenaran.
Hitam putih prinsip kami tidak ada abu-abu,
sekali kami melangkah titik balikpun menjauh,
jadi pemandu ulung bukan pemimpin semu.
(Juni Erl Simanungkalit)
Kami itu Batak anak - beranak,
menjejak Borneo mencetak prestasi,
mendulang Emas Hitam majukan Pertiwi,
tak permainkan kejujuran untuk mengejar kemakmuran.
(Ny. Silaban Br. Manurung)
Kami halak Batak,
Sering dijuluki batak sesat,
karena tak paham bahasa Batak,
karena tak terlalu mengerti budaya batak,
tapi bila kami ditanya, akan selalu kami jawab,
kami ini orang Batak,
dan selalu bangga menjadi Batak.
(Bundanya Radithya)
Kami itu Batak anak - beranak,
bertutur jujur,
berjiwa luhur,
berbakti tak terukur.
(Tiur Gultom)
Kami Batak anak - beranak,
penjujung teguh dalihan na tolu,
berjunjungan Ompu Mula Jadi Nabolon,
berkarakter kuat, berpedoman teguh,
tiada menyerah, walau bahaya mengancam nyawa.
Satu pesanku kawan,
jangan lupakan kata Horas dan Tano Batak
(Parulian sihombing - Bahal batu - Siborong borong)
Kami Batak anak beranak,
yang selalu gigih berkarya dan penuh tanggung jawab.
Bila terlanjur jadi penjilat,
Ia sampah, sampahnya Batak.
Kami batak anak beranak,
sampai kapanpun ada marga dibelakang nama kami.
(Sindak Sihombing)
Kami batak anak beranak,
muak pantang sobilak.
(Bang Bas)
Kami itu Batak anak-beranak,
yang berhati mulia, berjiwa satria,
yang siap memimpin namun tetap tunduk pada Sang Pemimpin,
karna kami itu Batak anak-beranak,
terlahir jadi anak Raja,
matipun tetap anak Raja.
(S.P. Sihombing, Bandung-Lintong ni Huta)
Kami Batak anak - beranak,
yang cinta NKRI tapi tetap bangga dengan jatidiri,
yang tak takut dianggap picik karena membela kaumku sendiri,
yang tak membodohi kaumku sendiri hanya untuk menggapai ambisi pribadi.
Kami Batak anak-beranak,
yang tidak saja bangga dengan marga yang kami sandang,
tetapi menjaga kehormatan budaya nenek moyang,
yang hampir punah ditelan jaman.
(Hotasi Simamora-Jakarta-Dolok Sanggul)
Kami Batak anak beranak,
dari Pusuk Buhit leluhur menapak,
menjelajah benua menebar hasrat,
kampung halaman tetap diingat.
Kami Batak anak beranak,
setia adat titian pengikat,
gondang dan ulos identitas melekat,
rentak irama bergerak serempak.
(Monang Naipospos - Laguboti)
........................................................
........................................................
........................................................
Note:
Silahkan meneruskan bait-bait puisi ini!
Kita berkolaborasi membuat puisi tumbuh, tapi saya punya hak untuk mengedit ya. Terima kasih.
PERAHU MERAH PUTIH BERBENDERA BIRU
Perahu merah putih,
tegak tiang layarmu memacu laju,
songsong angin darat menju asa baru,
lajulah laju membelah ombak memecah buih,
songsong angin laut dengan wajah berkapur putih,
laju lebih laju perahu merah putih.
Anak anak perahu gantung menggantung,
tiang-tiang layar tusuk menusuk,
tali temali ikat mengikat,
tak lagi mampu bergerak,
tak mau lagi maju,
jangan sampai berlaku,
jangan sampai kawanku.
Perahu merah putih terus melaju,
usah kecut pada pelacur-pelacur berbibir biru,
sebab birunya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengacara berhati batu,
tulang pipi dan lidahnya yang setajam sembilu,
sebab hatinya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengkotbah yang menjanjikan surga biru,
sebab janjinya adalah janji keliru.
Kepalang tanggung tinggalkan dermaga,
kepalang tanggung simpan jangkar di geladak,
kepalang basah buritan mencium air laut,
kepalang sudah kemudi diarahkan nahkoda,
maju terus maju,
jangan malu,
jangan ragu,
Laju!
Perahu merah putih berbendera biru,
laju-laju menuju tempat berlabuh!
17 Februari 2011
tegak tiang layarmu memacu laju,
songsong angin darat menju asa baru,
lajulah laju membelah ombak memecah buih,
songsong angin laut dengan wajah berkapur putih,
laju lebih laju perahu merah putih.
Anak anak perahu gantung menggantung,
tiang-tiang layar tusuk menusuk,
tali temali ikat mengikat,
tak lagi mampu bergerak,
tak mau lagi maju,
jangan sampai berlaku,
jangan sampai kawanku.
Perahu merah putih terus melaju,
usah kecut pada pelacur-pelacur berbibir biru,
sebab birunya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengacara berhati batu,
tulang pipi dan lidahnya yang setajam sembilu,
sebab hatinya tak sebiru benderamu.
Usah kecut pada pengkotbah yang menjanjikan surga biru,
sebab janjinya adalah janji keliru.
Kepalang tanggung tinggalkan dermaga,
kepalang tanggung simpan jangkar di geladak,
kepalang basah buritan mencium air laut,
kepalang sudah kemudi diarahkan nahkoda,
maju terus maju,
jangan malu,
jangan ragu,
Laju!
Perahu merah putih berbendera biru,
laju-laju menuju tempat berlabuh!
17 Februari 2011
CANGKIR KOPI
Elisabeth,
aku ingin bercerita padamu,
tentang cangkir kopi di jarimu itu,
menyimpan sejarah hidupku.
Berabad lalu,
moyangku dari benua utara,
menyeberang samudera raya,
mendayung dengan bilah-bilah kayu,
tangan mereka berdarah-darah.
Dari selat Malaka merambah rimba raya,
mengikuti air bermuara.
Sampai suatu sore bermata jingga,
mereka tiba di bukit ini,
tempat kita berdiri ini,
dekat tungku kita membuat kopi tadi.
Di situ juga mereka membuat kopi,
melewati hari pertama,
memilih menetap di sini,
sampai padaku.
Cangkir yang kau pegang itu,
milik istri moyangku,
dipakai minum kopi di sore jingga,
cangkir motif mata dewa menatap alam raya,
semoga kau suka.
9 Maret 2007
aku ingin bercerita padamu,
tentang cangkir kopi di jarimu itu,
menyimpan sejarah hidupku.
Berabad lalu,
moyangku dari benua utara,
menyeberang samudera raya,
mendayung dengan bilah-bilah kayu,
tangan mereka berdarah-darah.
Dari selat Malaka merambah rimba raya,
mengikuti air bermuara.
Sampai suatu sore bermata jingga,
mereka tiba di bukit ini,
tempat kita berdiri ini,
dekat tungku kita membuat kopi tadi.
Di situ juga mereka membuat kopi,
melewati hari pertama,
memilih menetap di sini,
sampai padaku.
Cangkir yang kau pegang itu,
milik istri moyangku,
dipakai minum kopi di sore jingga,
cangkir motif mata dewa menatap alam raya,
semoga kau suka.
9 Maret 2007
TEH POCI TERAKHIR
( Dalam kenangan Ags. Arya Dipayana-Mas Aji )
29 April 1961 - 1 Maret 2011
Meja kecil dan kursi kecil,
teko kecil berikut cangkir kecil,
gula batu dipecah kecil-kecil,
daun teh segenggaman kecil.
Semua itu kenangan kecil tentangmu,
namun kuingat lama dan selalu.
Kau pergi tiba-tiba Mas,
tinggalkan kekasih tercinta Mas.
Pun tinggalkan dunia tanpa kata,
kagetkan aku Mas.
Mas, biar kami teruskan meretas jalan,
menemukan tujuan.
Mas, biar kami duduk meriung,
merenung pergimu,
berikut jejak tertinggalmu.
Mas, ini teh poci terakhir, untukmu.
4 Maret 2011
29 April 1961 - 1 Maret 2011
Meja kecil dan kursi kecil,
teko kecil berikut cangkir kecil,
gula batu dipecah kecil-kecil,
daun teh segenggaman kecil.
Semua itu kenangan kecil tentangmu,
namun kuingat lama dan selalu.
Kau pergi tiba-tiba Mas,
tinggalkan kekasih tercinta Mas.
Pun tinggalkan dunia tanpa kata,
kagetkan aku Mas.
Mas, biar kami teruskan meretas jalan,
menemukan tujuan.
Mas, biar kami duduk meriung,
merenung pergimu,
berikut jejak tertinggalmu.
Mas, ini teh poci terakhir, untukmu.
4 Maret 2011
ANAK KAMPUNG BALIK GUNUNG
Akulah itu kawan,
anak lelaki kampung,
kampung sepi di balik gunung.
Akulah itu kawan.
Selalu rindu bau kemenyan,
rindu tebu di tepi hutan,
rindu dangau, rindu pepohonan bersemut merah dan hitam,
rindu kecipak air, rindu pula hujan,
rindu kelepak kepodang terbang,
dan angin bertiup menutup petang.
Akulah itu kawan.
Rindu pada perawan,
perawan kampung balik gunung,
rambutnya tebal, lehernya jenjang,
tangannya kekar, betisnya gempal,
pinggulnya padat dadanya besar,
memanggilku pulang sekarang.
Akulah ingin kawan,
pulang pada alam,
menjenguk gadis perawan.
Akulah itu kawan,
anak kampung balik gunung,
rindu alam, rindu gadis perawan
2 Maret 2011
anak lelaki kampung,
kampung sepi di balik gunung.
Akulah itu kawan.
Selalu rindu bau kemenyan,
rindu tebu di tepi hutan,
rindu dangau, rindu pepohonan bersemut merah dan hitam,
rindu kecipak air, rindu pula hujan,
rindu kelepak kepodang terbang,
dan angin bertiup menutup petang.
Akulah itu kawan.
Rindu pada perawan,
perawan kampung balik gunung,
rambutnya tebal, lehernya jenjang,
tangannya kekar, betisnya gempal,
pinggulnya padat dadanya besar,
memanggilku pulang sekarang.
Akulah ingin kawan,
pulang pada alam,
menjenguk gadis perawan.
Akulah itu kawan,
anak kampung balik gunung,
rindu alam, rindu gadis perawan
2 Maret 2011
MACAN PINCANG
Ada macan pincang di ujung hutan selatan
Badannya besar matanya kemerahan
Ia mantan raja hutan
Di masa muda mengundang segan
Berpapasan dengannya semua binatang enggan
Tak ada takutnya
Tak ada tandingnya
Hanya satu sedihnya
Anaknya hilang
Ketika pemburu berombongan datang
Istrinya diterjang peluru tajam
Anaknya dimasukkan kandang
Kakinya pun jadi pincang
Macan pincang – macan pincang
Ia jadi buas akibat kehilangan
Disapunya kampung-kampung tepi hutan
Hingga tanah ladang tak lagi bertuan
Macan pincang – macan pincang
Puluhan tahun jadi binatang jalang
Kini tak ada lagi mampu ia lawan
Tua dan tak pula punya kawan
Hanya satu tinggal harapan
Anaknya datang anaknya pulang
Macan pincang – macan pincang
Petang itu langit jingga bumi kering
Ia mencium bau kencing
Dari lantai kandang tergeletak di bebatuan
Ia tahu,
itu kencing anaknya yang hilang
Anaknya pulang
Macan pincang – macan pincang
Ia telusuri baunya sambil jalan
Ia ketemu di tepi hutan
Macan pincang – macan pincang
Ia lihat anaknya di situ
Persis mudanya dulu
Gagah dan besar
Aumannya pun seperti aumannya dulu
Macan pincang pun bilang
Macan baru, kamu anakku
Aku cium bau kencingmu
Kamu anakku
Kutunggu, kurindu sedari dulu
Kamu anakku
Macan baru mau
Ia sungguh tak tahu itu ayah atau hanya tipu
Sedikitnya ia sekarang punya teman
Tak lagi sendirian masuk hutan lebih dalam
Macan pincang – macan pincang
Ia tunjukkan tempat mencari makan
Berburu rusa dan mengejar kambing liar jantan
Juga menyantap babi hutan
Macan baru anaknya itu diam
Tak bisa lari tak sanggup menerkam
Macan pincang – macan pincang
Tak tega makan sendirian
Dia bagi paha kelinci hutan
Lelah payah ia buru sedari siang
Macan pincang – macan pincang
Sudah tua dan tak ada kawan
Mesti pula berbagi makan
Macan pincang – macan pincang
Apa kelak terjadi sekian bulan kemudian
6 Desember 2010
Badannya besar matanya kemerahan
Ia mantan raja hutan
Di masa muda mengundang segan
Berpapasan dengannya semua binatang enggan
Tak ada takutnya
Tak ada tandingnya
Hanya satu sedihnya
Anaknya hilang
Ketika pemburu berombongan datang
Istrinya diterjang peluru tajam
Anaknya dimasukkan kandang
Kakinya pun jadi pincang
Macan pincang – macan pincang
Ia jadi buas akibat kehilangan
Disapunya kampung-kampung tepi hutan
Hingga tanah ladang tak lagi bertuan
Macan pincang – macan pincang
Puluhan tahun jadi binatang jalang
Kini tak ada lagi mampu ia lawan
Tua dan tak pula punya kawan
Hanya satu tinggal harapan
Anaknya datang anaknya pulang
Macan pincang – macan pincang
Petang itu langit jingga bumi kering
Ia mencium bau kencing
Dari lantai kandang tergeletak di bebatuan
Ia tahu,
itu kencing anaknya yang hilang
Anaknya pulang
Macan pincang – macan pincang
Ia telusuri baunya sambil jalan
Ia ketemu di tepi hutan
Macan pincang – macan pincang
Ia lihat anaknya di situ
Persis mudanya dulu
Gagah dan besar
Aumannya pun seperti aumannya dulu
Macan pincang pun bilang
Macan baru, kamu anakku
Aku cium bau kencingmu
Kamu anakku
Kutunggu, kurindu sedari dulu
Kamu anakku
Macan baru mau
Ia sungguh tak tahu itu ayah atau hanya tipu
Sedikitnya ia sekarang punya teman
Tak lagi sendirian masuk hutan lebih dalam
Macan pincang – macan pincang
Ia tunjukkan tempat mencari makan
Berburu rusa dan mengejar kambing liar jantan
Juga menyantap babi hutan
Macan baru anaknya itu diam
Tak bisa lari tak sanggup menerkam
Macan pincang – macan pincang
Tak tega makan sendirian
Dia bagi paha kelinci hutan
Lelah payah ia buru sedari siang
Macan pincang – macan pincang
Sudah tua dan tak ada kawan
Mesti pula berbagi makan
Macan pincang – macan pincang
Apa kelak terjadi sekian bulan kemudian
6 Desember 2010
Langganan:
Postingan (Atom)